Fatchul Mu’in

Spektrum pemikiran

KEDWIBAHASAAN

Posted by fatchulfkip on October 8, 2008

Oleh : Fatchul Mu’in

1. Kedwibahasaan
Istilah kedwibahasaan, yang dalam bahasa Inggrisnya bilingualism, telah diperbincangkan oleh sejumlah ilmuwan bahasa. Mereka mengajukan pengertian atau batasan tentang kedwibahasaan itu menurut pandangan mereka masing-masing. William F. Mackey merangkum sejumlah pengertian kedwibahasaan, sebagai berikut:
Pada waktu dulu, konsep kedwibahasaan dipandang sebagai the equal mastery of two languages (penguasaan yang sama terhadap dua bahasa); definisi ini masih diketemukan dalam kamus-kamus linguistik tertentu. Bloomfield memberikan konsep kedwibahasaan sebagai “the native-like control of two languages (penguasaan dua bahasa yang sama antara bahasa asli dan bahasa yang lain)”. Konsep ini diperluas oleh Haugen menjadi kemampuan menghasilkan “complete meaningful utterances in the other language” (ungkapan-ungkapan yang bermakna dan sempurna dalam bahasa lain). Akan tetapi, sekarang disarankan bahwa konsep kedwibahasaan itu diperluas lagi dengan memasukkan “passive knowledge” (pengetahuan pasif) bahasa tulis atau setiap “ contact with possible models in a second language and the ability to use these in the environment of the native language” (kontak dengan model model-model dalam bahasa kedua dan kemampuan menggunakan model-model itu dalam lingkungan bahasa asli). Perluasan konsep kedwibahasaan ini, menurut Mackey, karena kenyataan bahwa titik tolak seseorang penutur bahasa kedua menjadi dwibahasawan bersifat arbriter dan tidak mungkin ditentukan. Lebih dari itu, kita harus memasukkan tidak hanya dua bahasa, akan tetapi sejumlah bahasa. Oleh karena itu, kita akan memandang kedwibahasaan sebagai “the alternate use of two or more languages by the same individual” (penggunaan dua bahasa atau lebih secara bergantian oleh individu yang sama) (Fishman, ed., 1972:555).
Kalau kita perhatikan pengertian kedwibahasaan di atas, kita akan melihat adanya perbedaan antara yang diberikan oleh Bloomfield dan oleh yang lainnya. Kedwibahasaan dibatasi oleh Bloomfield sebagai penggunaan dua bahasa yang sama baiknya antara bahasa ibu (asli) dan bahasa kedua. Dengan demikian, pengertian kedwibahasaan semacam ini menyaran pada kelancaran dan ketepatan yang sama seperti penggunaan bahasa oleh penutur asli dari setiap bahasa itu.
Bila kita beranjak dari gagasan Bloomfield tentang kedwibahasaan, lebih jauh kita dapat ikuti penjelasannya dalam bukunya yang berjudul Language yang di dalamnya, antara lain, menyatakan sebagai berikut:
In the extreme case of foreign-language learning the speaker becomes so proficient as to be indistinguishable from the native speaker around him. This happens occassionally in adult shifs of language and frequently in the childhood shift ….. In this cases where this perfect foreign-language learning is not accompanied by loss of the native-language, it results in bilingualism, native-like control of two languages (Bloomfield, 1935:56).

Dengan demikian, menurut Bloomfield, belajar bahasa asing yang sempurna tanpa diikuti oleh hilangnya bahasa asli akan terjadi ‘native-like control of two languages’. Namun demikian, penggunaan dua bahasa atau lebih akan melibatkan latar kontal sosial budaya. Pada hakikatnya, kontak bahasa adalah salah satu aspek dari kontak kebudayaan, sedangkan pengacauan kaidah, alih kode maupun campur kode (yang akan dibahas kemudian) merupakan segi dari difusi dan akulturasi budaya. Lebih lanjut, dalam kaitan ini, Weinreich menjelaskan sebagai berikut.

In a great majority of contact between groups speaking different mother tongues, the groups constitute, at the same time, distinct ethnic or cultural communities. Such contact entails biculturalism (participation in two cultures) as well as bilingualism, diffusion of cultural traits as well as of linguistic elements (1968:5 dan 89).

Beranjak dari gagasan Weinriech di atas, dapat dikatakan bahwa bagaimanapun sempurnanya penguasaan bahasa asing (lain) oleh seseorang, bila dua bahasa atau lebih berkontak, yaki: bahasa-bahasa itu digunakan oleh orang yang sama secara bergantian, maka unsur-unsur bahasa asing (lain) dapat saja muncul dalam tuturannya.
Kemunculan unsur-unsur dari bahasa asing (lain) dalam tuturan pemakai bahasa yang memiliki pengetahuan atau penguasaan lebih dari satu bahasa itu, lebih lanjut dijelaskan oleh Istiati Soetomo (1985:2) sebagai berikut.
Jika seorang dwibahasawan akan menyampaikan suatu pesan lewat bahasa kepada pendengarnya, ada dua faktor yang menghambat perjalanan pesan itu sebelum ia dapat diujarkan oleh penuturnya. Pertama adalah faktor dari kaidah beberapa bahasa yang dikenalnya, tentunya berbeda satu dari yang lainnya. Mampukah dia membedakan dan memilah-milahkan setiap kaidah itu, sehingga ketika dia menggunakan salah satu bahasa, kaidah bahasa lain tidak mengganggu? Jika dia tidak mampu, maka sementara dia menggunakan salah satu bahasa yang dikenalnya, bahasa lain dapat saja muncul dalam tuturannya. Terjadilah apa yang disebut interferensi, alih kode/campur kode. Sebaliknya, bila dia dapat memisah-misahkan kaidah bahasa-bahasa yang dikenalnya, maka terjadilah tunggal-bahasa dalam tuturan si penutur tersebut. Kedua adalah faktor yang berasal dari pertimbangan komunikasi. Bahasa digunakan manusia untuk alat komunikasi dalam upayanya berinteraksi dengan sesamanya. Dalam kenyataannya, dia tidak bebas sama sekali. Ada seperangkat peraturan berbahasa yang telah disepakati oleh masyarakat di mana dia hidup dan bergaul dengan anggota-anggota lain sesuai dengan tata-nilai yang menjadi pedoman mereka dalam upayanya berinteraksi dengan sesamanya. Dalam kenyataannya, dia tidak bebas sama sekali. Ada seperangkat peraturan berbahasa yang telah disepakati oleh masyarakat di mana dia hidup dan bergaul dengan anggota-anggota lain sesuai dengan tata-nilai yang menjadi pedoman mereka. Pertimbangan komunikasi ini menentukan apakah dia akan bertutur dengan tunggal-bahasa, melakukan interferensi, atau alih-kode/campur kode.
Tindak berbahasa bagi orang yang memiliki kemampuan atau penguasaan terhadap dua bahasa (atau lebih) dapat memenuhi tuntutan berkenaan dengan the native-like control of two languages, akan terjadi bila kita memandang tindak berbahasa itu dari segi penggunaan bahasa tanpa mempertimbangkan faktor-faktor non-kebahasaan, seperti: peserta tutur (partisipan), topik pembicaraan, setting, suasana, maksud dan faktor-faktor sosial-budaya. Namun, dalam tindak berbahasa seseorang dalam upayanya berinteraksi sosial dengan sesamanya, faktor-faktor non-kebahasaan seringkali mempengaruhi penggunaan bahasa-bahasa yang dikuasainya. Faktor-faktor non-kebahasaan dapat mengakibatkan apakah seseorang itu akan bertutur dengan tunggal-bahasa, melakukan interferensi, atau alih-kode/campur kode, sebagaimana disarankan oleh Istiati Soetomo di atas.
Kemudian pengertian ‘the native-like cotrol of two languages’ dipandang sebagai satu jenis kedwibahasaan. Pengertian lain tentang kedwibahasaan diberikan oleh Weinreich sebagai ‘the practice of alternately using two languages’. Dalam kaitan ini, dia memandang kedwibahasaan dalam arti yang luas, tanpa kualifikasi mengenai tingkat perbedaan antara dua bahasa, yaitu tanpa memandang apakah kedua sistem itu bahasa dengan bahasa, dialek-dialek dari bahasa yang sama, atau varitas-varitas dari dialek yang sama. Berkenaan dengan pengertian kedwibahasaan ini, Haugen menyarankan bahwa tidak perlu adanya syarat yang sama dalam pengetahuan atau penguasaan terhadap kedua bahasa itu. Untuk itu, dia menawarkan dua jenis kedwibahasaan, yakni: compound bilingualism dan coordinate bilingualism. Jenis kedwibahasaan yang pertama menyaran pada penguasaan dua bahasa dalam konteks yang sama, sedangkan jenis kedwibahasaan yang kedua menyaran pada penguasaan dua bahasa dalam konteks yang berbeda.
Konsep kedwibahasaan telah menjadi semakin luas. Ia tidak hanya menyaran pada penguasaan atau penggunaan dua bahasa tetapi juga pada dua bahasa atau lebih. Dengan demikian, konsep kedwibahasaan berimplikasi pada keanekabahasaan. Dalam hal ini, Mackey, seperti dinyatakan di atas, membatasi kedwibahasaan sebagai penggunaan dua bahasa atau lebih oleh individu yang sama secara bergantian (Fishman, ed.,: 1972:555).
Lebih lanjut, Mackey memandang konsep kedwibahasaan sebagai konsep yang nisbi atau relatif. Kedwibahasaan itu melibatkan atau mengandung masalah tingkat, fungsi, pertukaran, dan interferensi. Tingkatan kedwibahasaan menyaran pada masalah : seberapa baik seseorang mengetahui atau menguasai bahasa-bahasa yang digunakan, atau dengan perkataan : seberapa jauh dia menjadi dwibahasawan?. Fungsi kedwibahasaan menyaran pada masalah: untuk apa dia menggunakan bahasa-bahasa itu, peran apa yang dimainkan oleh bahasa-bahasa itu dalam pola perilakunya secara keseluruhan?. Pertukaran menyaran pada masalah: seberapa luas dia mempertukarkan bahasa-bahasa yang dikuasainya, bagaimana dia melakukan pergantian dari dari satu bahasa ke bahasa yang lain, dan dalam keadaan bagaimana dia berganti bahasa itu?. Interferensi menyaran pada masalah: bagaimana dia menjaga bahasa-bahasa itu terpisah ketika dia melakukan speech act, seberapa luas dia mencampurbaurkan semua bahasa itu, dan bagaimana salah satu bahasa dari bahasa-bahasa yang dikuasainya mempengaruhi penggunaan bahasa yang lainnya? (Fishman, ed., 1972:555-556).
Kedwibahasaan bukan fenomena atau gejala bahasa; melainkan sifat atau karakteristik penggunaannya. Ia bukan ciri kode; melainkan ciri pesan. Ia bukan bagian dari langue (totalitas dari suatu bahasa yang merupakan kombinasi dari grammar, kosa kata, dan system pengucapan); melainkan bagian dari parole (penggunaan bahasa secara nyata oleh penuturnya). Kalau bahasa merupakan milik kelompok, maka kedwibahasaan merupakan milik perseorangan. Penggunaan dua oleh seseorang mengharuskan keberadaan dua masyarakat bahasa (speech communities) yang berbeda; akan tetapi tidak mengharuskan masyarakat dwibahasawan (Fishman, ed., 1972:554).
Setelah kita mendapatkan gambaran tentang kedwibahasaan, kita kemukakan istilah lain yang sangat berkaitan dengan masalah kedwibahasaan. Istilah itu adalah kontak bahasa (language contact). Sebagaimana dikatakan oleh Weinriech, bahwa dua bahasa atau lebih dikatakan dalam kontak apabila digunakan secara bergantian oleh orang yang sama. Individu pemakai bahasa-bahasa itu menjadi tempat atau sumber terjadinya kontak tersebut (Weinriech, l953:1).
Sehubungan dengan kontak bahasa ini, Mackey menegaskan perbedaan antara kedwibahasaan. Kedwibahasaan, seperti dinyatakan di atas, menyaran pada penggunaan dua bahasa atau lebih oleh individu yang sama; sedangkan kontak bahasa menyaran pada pengaruh suatu bahasa terhadap bahasa lainnya, baik pengaruh langsung maupun tidak langsung, yang menyebabkan perubahan dalam langue yang menjadi milik tetap (permanen) penutur ekabahasawan (monolingual) dan memasuki perkembangan sejarah bahasa yang digunakan oleh penutur ekabahasawan tersebut (Haugen dalam Fishman, ed., 1972:20).

2. Dwibahasawan
Sama halnya dengan kedwibahasaan, konsep dwibahasawan juga mengalami perluasan. Weienriech memberikan batasan dwibahasawan sebagai orang yang terlibat dalam praktek penggunaan dua bahasa secara bergantian (1968:1).
Kalau dikatakan bahwa bahasa-bahasa disebut dalam kontak bila bahasa-bahasa itu digunakan oleh dwibahasawan secara bergantian, maka sebenarnya kurang memadai pengertiannya. Hal ini karena, menurut Haugen, bahasa-bahasa itu tidak harus digunakan secara nyata oleh dwibahasawan melainkan hanya cukup diketahui saja. Namun demikian, dia menyarankan bahwa dwibahasawan yang ideal adalah seseorang yang mengetahui lebih dari satu bahasa yang mampu menginternalisasikan atau membiasakan pola-pola produktif (aturan tata bahasa) dan unsur leksikal dari dua speech communities (Fishman, ed., 1972:20).
Bila kemampuan pasif bahasa tulis atau setiap kontak dengan bentuk-bentuk dalam bahasa kedua dimasukkan dalam konsep kedwibahasaan, maka dwibahasawan lebih jauh dibatasi sebagai orang yang memiliki kemampuan bahasa yang berbeda-beda (Fishman, ed., 1972:555). Hal ini didukung oleh pernyataan Haugen bahwa dwibahasawan itu bukanlah ekabahasawan atau mololingual walaupun tidak ditetapkan seberapa jauh seseorang itu memerlukan pengetahuan bahasa kedua sebelum disebut dwibahasawan. Kemudian, dia menyarankan bahwa kemampuan menghasilkan kalimat-kalimat dalam bahasa kedua harus menjadi syarat terendah, atau paling tidak, memahami kalimat-kalimat bahasa kedua itu. Istilah kedwibahasawan menyaran juga pada orang yang mengetahui lebih dari satu bahasa, yang biasa dikenal dengan istilah multibahasawan atau ploligot (Fishman, ed., 1978:4).
Sebagaimana dikatakan di atas, bahwa konsep kedwibahasaan telah mengalami perluasan. Hal ini terlihat pada pernyataan Mackey, bahwa kedwibahasaan itu melibatkan tingkatan. Tingkatan dimaksudkan untuk membedakan kemampuan seseorang dalam penguasaannya terhadap bahasa kedua. Tingkatan kemampuan itu dapat dilihat pada penguasaan dwibahasawan dalam hal fonologi, tata bahasa (grammar), segi leksikal, semantik dan gaya bahasa (stylistic) yang terlihat dalam empat ketrampilan (skill) bahasa, yaitu: menyimak (listening), membaca (reading), berbicara (speaking), dan menulis (writing) (Fishman, ed., 1972:556-557).
Pengertian kemampuan berbahasa itu juga mengacu pada kemampuan aktif dan pasif. Ini berarti bahwa dwibahasawan tidak harus menguasai bahasa keduanya secara aktif, tetapi dapat juga secara pasif. Seseorang yang memiliki ‘kemampuan pasif bahasa tulis’ dalam bahasa kedua dapat juga disebut dwibahasawan (Fishman, ed., 1972:555).

3. Interferensi
Sebagaimana dikatakan di atas, bahwa kedwibahasaan mengandung pengertian yang relatif atau nisbi. Ia melibatkan masalah tingkatan, fungsi, pertukaran, dan interferensi. Tiga hal yang pertama (tingkatan, fungsi, dan pertukaran) menentukan terjadi atau tidaknya peristiwa interferensi bahasa tertentu dalam tuturan dwibahasawan dengan bahasa yang lain. Dengan demikian, menurut Mackey, pengertian interferensi adalah penggunaan unsur-unsur yang ada dalam suatu bahasa pada waktu berbicara atau menulis dalam bahasa lain (Fishman, ed., 1972:569).
Praktek penggunaan dua bahasa oleh seseorang menimbulkan penyimpangan-penyimpangan dari norma masing-masing bahasa itu. Penyimpangan semacam itu disebut interferensi. Dalam hal ini, Weinreich mengatakan:
The practice of alternately using two languages will be called bilingualism, and the persons involved, bilingual. Those instances of deviation from the norms of either language either language which occur in the speech of bilinguals as a result of their familiarity with more than one language, i.e. as a result of language contact, will be referred to as interference phenomena ((1953:1).

Interferensi disebut juga dengan ‘penerapan struktur bahasa yang satu (misalnya, bahasa X) pada bahasa yang lain (misalnya, bahasa Y). Atau, dapat dikatakan bahwa interferensi adalah penerapan dua struktur bahasa secara serampak pada saat bertutur dengan suatu bahasa (Haugen dalam Fishman, ed., 1978:33).
Dari pengertian-pengertian tentang interferensi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa interferensi mencakup baik penggunaan unsur yang ada dalam suatu bahasa pada waktu berbicara atau menulis bahasa yang lain, maupun penerapakan dua kaidah bahasa secara serempak, yang akibatnya menimbulkan penyimpangan dari norma-norma masing-masing bahasa yang terjadi tuturan dwibahasawan.
Penerapan dua kaidah bahasa secara serempak itu terbatas pada gejala tuturan saja. Hal ini karena kaidah yang dipandang sebagai pinjaman yang telah kukuh dan pemakaiannya tidak terbatas pada kedwibahasaan, maka ia bukan lagi disebut interferensi. Dalam kaitan ini, Weinreich menjelaskan sebagai berikut:

In speech, interference is like sand carried by a stream; in language, it is sedimented sand deposited on the bottom of a lake. Two phases of interference should be distinguished. In speech, it occurs anew in the utterances of the bilingual speaker as a result of his personal knowledge of the other tongue. In language, we find interference phenomena which, having frequently occurred in the speech of bilinguals, have become habitualized and established. Their use is no longer dependent on bilingualism. When a speaker of language X uses a form of foreign origin not as an on the-spot borrowing from the language Y, but because he has heard it used by others in X-utterances, this borrowing element can be considered, from the descriptive viewpoint, to have a part of language X (1968:11).

Senada dengan Weinreich, Mackey menyatakan bahwa deskripsi tentang interferensi harus dibedakan dengan analisis tentang pinjaman bahasa. Interferensi merupakan gejala parole; sedangkan pinjaman merupakan gejala langue. Interferensi itu terjadi pada diri dwibahasawan; sedangkan pinjaman bahasa –yang berkaitan dengan integrasi- dapat terjadi tidak hanya pada diri dwibahasawan tetapi juga pada diri ekbahasawan (Fishman, ed., 1972:569). Pengertian integrasi akan dijelaskan kemudian.
Dalam interferensi terdapat tiga unsur yang berperan, yaitu: (1) bahasa model atau bahasa sumber, (2) bahasa penyerap atau penerima, dan (3) unsur serapan atau importasi.
Interferensi dapat terjadi karena pemindahan unsur. Unsur yang dipindahkan dari bahasa sumber ke bahasa penerima disebut serapan atau importasi. Unsur serapan atau importasi semacam ini dapat terjadi pada tingkat kata, yaitu berupa pemindahan atau pemasukan kata dari bahasa sumber ke bahasa penerima, di mana fonem-fonemnya diganti dengan fonem-fonem bahasa penerima (native phonemes). Dalam hal ini importasi menyebabkan adanya loanword (Weinreich, 1968:31 dan Fishman, ed., 1972:37).
Juga, dalam interferensi terdapat penggantian unsur. Yang dimaksud dengan penggantian unsur di sini adalah unsure yang digantikan atau disalin dari bahasa sumber dalam bahasa penerima. Dalam hal ini, bahasa sumber disebut bahasa model dan bahasa penerima disebut replica. Unsur yang disalin adalah substitusi. Substitusi dari bahasa asli menyebabkan adanya loanship, yang terjadi dengan menyalin kata asli ke dalam bahasa replica disertai dengan pergesearan arti (Fishman, ed., 1978:38).
Interferensi dapat saja terjadi dalam semua komponen kebahasaan. Ini berarti bahwa peristiwa interferensi dapat saja terjadi dalam bidang-bidang: tata bunyi, tata bentuk, tata kata, tata kalimat, dan tata makna.

4. Integrasi
Baik interferensi maupun integrasi merupakan gejala akibat dari kontak bahasa. Keduanya peristiwa itu sebenarnya merupakan penggunaan unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain yang terjadi pada diri penutur bahasa. Mackey mengajukan perbedaan antara interferensi dan integrasi. Menurut dia, interferensi menyaran pada “the use of elements of one language or dialect while speaking or writing another” dan integreasi menyaran pada ”the incorporation into one language or dialect of elements from another from another” (Fishman, ed., 1972:555).
Sebagaimana dikatakan di atas, bahwa interferensi terjadi pada diri dwibahasawan; sedangkan pinjaman bahasa (yang sering dikaitkan dengan integrasi) dapat terjadi tidak hanya pada diri dwibahasawan tetapi juga pada diri ekabahasawan. Dengan demikian, dalam peristiwa integrasi unsur-unsur dari suatu bahasa digunakan seolah-olah menjadi bagian dari bahasa yang lain. Dalam kaitan ini, unsur-unsur dari bahasa lain itu digunakan oleh penutur ekabahasawan yang tidak mempunyai pengetahuan tentang bahasa sumber atau oleh penutur dwibahasawan yang menjadikan unsur-unsur bahasa lain itu sebagai bagian dari kebiasaannya (Fishman, ed., 1972:569 dan Weinreich, 1968:11).
Integrasi dapat dikatakan sebagai fenomena yang terjadi bila unsur-unsur serapan dari suatu bahasa telah dapat menyesuaikan dengan sistem bahasa penyerapnya sehingga pemakaiannya tidak lagi terasa keasingannya. Dalam hal ini, Haugen (dalam Rusyana, 1975:76) memberikan batasan integrasi sebagai “kebiasaan menggunakan materi dari suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain”. Seperti halnya interferensi, integrasi dapat terjadi pada semua komponen kebahasaan: tata bunyi, tata bentuk, tata kalimat ataupun tata makna.

5. Kode
Istilah kode di sini dimaksudkan untuk menyebut salah satu varian dalam hirakhi kebahasaan. Kode dapat menyaran pada (1) bahasa, dan (2) varian dari suatu bahasa. Bila bahasa dipandang sebagai suatu kode, kita, misalnya, akan mengetahui bahwa bahasa Banjar, bahasa Arab, bahasa Indonesia dan sebagainya adalah kode-kode. Suatu bahasa memiliki sejumlah varian bahasa dan selanjutnya setiap varian bahasa juga disebut kode. Varian-varian bahasa dapat berupa (a) dialek yang terbagi lagi menjadi : dialek geografi, sosial, usia, jenis kelamin, aliran, suku, ras dan sebagainya, (b) tingkat tutur yang terbagi lagi menjadi : tingkat tutur hormat, dan non-hormat, yang berwujud ngoko, krama madya, dan krama inggil (bahasa Jawa), (c) ragam (style) yang terbagi lagi atas dasar suasana: ragam santai (informal), resmi (formal), dan literer (indah), dan atas dasar komunikasi: ragam ringkas (restricted code), ragam lengkap (elaborated code), dan syair, serta atas dasar kekhususan: register (Poejosoedarmo, 1975). Dalam kaitan ini, Fishman menyatakan bahwa setiap varian bahasa itu dapat dikenali atau diketahui (1) pola-pola bunyinya, (2) kosa katanya, (3) ciri-ciri gramatikalnya, dan (4) maknanya (1972:5).
Istilah dialek menyaran pada varian bahasa yang adanya ditentukan oleh latar belakang asal usul penutur. Latar belakang penutur dapat berupa (1) lingkungan geografis tempat seorang penutur hidup, (2) tingkat sosial dari mana seorang penutur berasal, (3) aliran agama, kepercayaan kebatinan atau kepartaian yang seorang penutur anut, (4) umur seorang penutur (anak-anak atau orang dewasa/tua, (5) jenis kelamin seorang penutur (laki-laki atau perempuan), dan suku/etnis seorang penutur (Negro, Indian, Tionghoa, Jawa, Madura).
Berkenaan dengan dialek sebagai suatu kode, Trudgill berpendapat bahwa dalam bahasa terdapat dua dialek, yaitu dialek regional dan dialek sosial. Dialek regional menyaran pada varian bahasa yang adanya ditentukan oleh daerah asal si penutur. Dalam bahasa Banjar, misalnya, kita mengenal dialek bahasa Banjar Hulu dan Kuala; dalam bahasa Jawa, misalnya, kita mengenal dialek bahasa Jawa Surabaya, Yogyakarta, Banyumas, dan lain-lain. Dialek sosial menyaran dialek yang adanya ditentukan oleh tingkat sosial dari mana seseorang penutur berasal, apakah ia berasal dari kelas sosial tingkat, menengah, atau rendah.
Lebih lanjut, Soepomo Poedjosoedarmo menjelaskan bahwa tingkat tutur dipandang sebagai suatu kode. Tingkat tutur mempunyai ciri khusus sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan lawan tuturnya, dan situasi tutur yang ada. Tingkat tutur itu biasanya berbentuk varian bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi oleh anggota suatu masyarakat bahasa. Bagi masyarakat ekabahasa, kode itu merupakan varian dari bahasanya yang satu. Akan tetapi, bagi masyarakat yang dwibahasa atau anekabahasa, inventariasai kode itu menjadi lebih luas dan mencakup varian dua bahasa atau lebih(1975:30).
Berkaitan dengan tingkat tutur itu, Clifford Geertz membahasnya dalam kerangka sopan santun berbahasa atau etiket berbahasa. Dalam bahasa Jawa, kita mengenal tingkat-tingkat tutur (speech levels) yang sangat kompleks. Tingkat-tingkat tutur yang dimaksud adalah varian-varian bahasa yang perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya ditentukan oleh perbedaan sikap sopan santun yang ada pada diri pembicara atau penutur (O1) terhadap lawan bicara (O2). Tingkat-tingkat tutur itu adalah ngoko, krama madya, dan krama inggil (Geertz, 1960). Masing-masing tingkat tutur itu membawa perbedaan dalam kosa kata. Dengan perkataan lain, tingkat tutur itu dapat dikatakan sebagai sistem kode penyampai rasa kesopanan yang di dalamnya terdapat unsur kosa kata tertentu, aturan sintaksis tertentu, aturan morfologi dan fonologi tertentu (Poedjosoedarmo, 1979:3-8).
Bila varian bahasa ditinjau dari segi ragam bahasa, maka varian bahasa itu biasanya dikaitkan dengan tingkat formalitas. Dalam kaitan ini, Trudgill mengatakan:
Formality is not, in fact, something which is easy to define with any degree of precision, largely because it subsumes very many factors including familiarity, kinship-relationship, politeness, seriousness, and so on, but most people have a good idea of the relative formality of particular linguistic varians in their own language (1974:110)
Berpijak dari pendapat Trudgill di atas, kiranya dapat dikatakan bahwa tingkat formalitas antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lainnya akan berbeda. Sebagai contoh, ragam formal dalam bahasa Inggris ditandai oleh penggunaan bentuk pasif; sementara ragam formal dalam bahasa Jawa ditandai dengan penggunaan tingkat tutur krama/krama inggil (misal, dalam rapat, pidato).
Varian bahasa yang lain adalah apa yang dikenal dengan istilah tutur lengkap (elaborated code) dan tutur ringkas (restricted code). Dua istilah ini merupakan dua istilah yang pernah dipakai oleh Basil Berstein, seorang profesot sosiologi pendidikan pada Universitas London. Tutur lengkap, menurut sang professor ini, umumnya digunakan dalam situasi-situasi formal seperti debat formal atau diskusi akademik. Sedangkan tutur ringkas umumnya digunakan dalam suasana tak resmi, misalnya dalam suasana santai. Tutur lengkap tentu saja mengandung kalimat-kalimat yang lengkap, sesuai dengan kaidah sintaksis yang ada. Ungkapan-ungkapan dinyatakan dengan jelas. (Trudgill, 1974:51-52). Tutur lengkap tentu saja mengandung kalimat-kalimat yang lengkap, sesuai dengan kaidah sintaksis yang ada. Ungkapan-ungkapan dinyatakan dengan jelas. Perpindahan dari kalimat yang satu ke kalimat yang lain terasa runtut dan logis, tidak dikejutkan oleh faktor-faktor non kebahasaan yang aneh-aneh. Sedangkan tutur ringkas sering mengandung kalimat-kalimat yang pendek, dan biasanya hanya dimengerti oleh peserta tutur. Orang luar kadang-kadang tak dapat menangkap makna tutur yang ada, sebab tutur itu sangat dipengaruhi antara lain oleh faktor-faktor non kebahasaan yang ada pada waktu dan di sekitar pembicaraan itu berlangsung. Bahasa yang dipakai dalam suasana santai antara sahabat karib, sesama anggota keluarga, antara teman, biasanya berwujud singkat-singkat seperti itu (Poedjosoedarmo, 1974:8).
Varian bahasa yang lain adalah register. Kita sering membedakan tutur karena penggunaan tutur itu secara khusus. Tutur penjual obat dan tutur ahli hukum yang sedang bekerja di kantor pengadilan akan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Demikian pula, tutur seseorang yang kerkecimpung dalam dunia kedokteran akan berbeda dengan tutur seseorang yang bekerja dalam bidang teknik. Dalam kaitan ini, Trudgill berpendapat:
The occupational situation will produce a distinct linguistic variety. Occupational linguistic varieties of this sort have been termed registers, and are likely to occur in any situation involving members of a particular profession or occupation. The language of law, for example, is different from the language of medicine, which in turn is different from the language of engineering- and so on. Registers are usually characterized solely by vocabulary differences; neither by the use of particular words, or by the use of words in a particular sense (1974:104).

6. Alih Kode
Penggunaan bahasa dalam situasi kedwi-bahasaan atau keanekabahasaan akan melibatkan persoalan siapa yang bertutur, bahasa apa yang digunakan, kepada siapa seseorang itu bertutur, kapan dan di mana tutur itu terjadi (Fishman,1972:244).
Dalam situasi kedwibahasaan atau keaneka-bahasaan, sering kita melihat orang mengganti bahasa atau ragam bahasa; hal ini tergantung pada keadaan atau keperluan berbahasa itu sendiri. Kalau bahasa dipandang sebagai system kode, maka peralihan bahasa yang satu ke bahasa yang lain disebut alih kode. Misalnya, seseorang penutur menggunakan bahasa Indonesia, dan kemudian beralih dengan menggunakan bahasa yang lain. Peralihan dari bahasa Indonesia ke bahasa yang lain itu disebut peristiwa alih kode (code-switching). Namun, seperti telah terurai di atas, dalam suatu bahasa terdapat kemungkinan varian bahasa baik dialek, tingkat tutur, ragam maupun register yang juga disebut sebagai kode maka peristiwa alih kode mungkin berwujud alih dialek, alih tingkat tutur, alih ragam ataupun alih register. Dalam kaitan ini, Nababan mengatakan bahwa konsep alih kode ini mencakup juga di mana seseorang beralih dari satu ragam fungsiolek (misalnya ragam santai) ke ragam lain (misalnya ragam formal), atau dari satu dialek ke dialek yang lain (1984:31).
Lebih lanjut, kalau kita berpijak pada bahasa Jawa atau bahasa daerah yang memiliki sejumlah tingkat tutur yang mempunyai tingkat tutur yang kompleks, alih kode ini dapat diperluas dengan alih tingkat tutur. Alih kode seperti ini terjadi, misalnya, pada waktu seseorang berbicara dalam bahasa daerah yang formal dan hormat (krama), tiba-tiba penutur itu beralih ke bahasa Indonesia ragam formal, kemudian kembali ke krama lagi, lalu berganti ke ngoko, lalu ke bahasa Indonesia lagi, lalu ke krama, begitu selanjutnya.
Pengertian alih kode akan dibedakan dengan pengertian campur kode. Situasi berbahasa yang berbeda-beda yang dapat mempengaruhi alih kode ialah terdiri dari faktor-faktor, yakni: pribadi yang berperan dalam tindak berbahasa, yang membicarakan masalah tertentu, yang menggunakan jalur tertentu, dengan tujuan tertentu pula (Nababan, 1984:31). Istiati Soetomo menegaskan bahwa tindak berbahasa itu ditentukan oleh pertimbangan komunikasi, yaitu pertimbangan yang datang dari sistem budaya, sistem sosial, sistem kepribadian dan sistem tingkah laku (1985:26).
Sedangkan pengertian campur kode, menurut Nababan, ialah suatu keadaan berbahasa di mana seseorang penutur mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak berbahasa (speech act) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu sendiri. Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian dan/atau kebiasaannya yang dituruti (1984:31). Dalam hubungan ini, Istiati Soetomo menanbahkan bahwa campur kode itu dilakukan seseorang demi kemudahan dalam berbahasa (1985:88).

2 Responses to “KEDWIBAHASAAN”

  1. Devina Susilo said

    terima kasih ya buat artikelnya ^o^

    Terima kasih kembali. Silakan saja artikel yang diperlukan diunduh dari blog ini. Yang penting untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Gunanya tulisan adalah dibaca orang, dimanfaatkan orang. Semakin banyak yang memanfaatkan tulisan ini, berarti semakin banyak pula manfaat dari tulisan itu. Semoga bermanfaat.

  2. wah bagus banget….makasih atas artikelnya.


    makasih kembali. moga artikel saya bermanfaat bagi semua pemakai blog saya ini.

Leave a reply to baitul alim Cancel reply