Fatchul Mu’in

Spektrum pemikiran

Guruku?

Posted by fatchulfkip on October 9, 2008

GURU KUSAYANG, GURU KAU NISTAKAN?
Oleh Fatchul Mu’in*)

Bagi saya, seorang guru adalah orang orang yang mengajarkan ilmu yang bermanfaat bagi hidup dan kehidupan saya. Kedua orang tua, tentu, guru saya yang pertama dan utama. Berikutnya adalah guru-guru di sekolah, ustadz di madrasah, dan da’i atau penceramah di majelis taklim. Disusul oleh kakak-kakak dan kawan-kawan saya. Setelah menikah, kedua mertua dan pasangan saya menjadi guru-guru saya. Para penulis buku, karya sastra, artikel dan lain-lain serta wartawan, saya akui sebagai guru-guru saya. Bahkan, sejumlah mahasiswa yang menemukan sesuatu dalam skripsi mereka, saya akui sebagai “guru”. Kenapa begitu? Ya, karena mereka semua pernah memberikan ilmu yang tiada terkira manfaatnya bagi saya, yang tentu saja dengan teknik dan metode yang satu sama lain tak sama. Untuk itu, mereka hendaknya dihormati dan disayangi.

Tak wajib beli?
Jual beli buku pelajaran sebenarnya telah berlangsung lama. Selaku wali murid selama 8 tahun saya membeli buku-buku pelajaran lewat guru-guru anak saya. Pembayarannya bisa dicicil atau setidak-tidaknya bisa ditunda atau ngutang. Kata anak saya, bapak-ibu guru tidak mewajibkan untuk membeli buku di sekolah. Kalau mau beli sendiri di toko buku, beliau mempersilakan. Ketidakharusan membeli buku lewat guru/sekolah ini sebetulnya telah ditegaskan oleh salah satu kepala SMA di Banjarmasin, yang dilansir oleh salah satu koran di kota ini.
Bagi saya, buku-buku itu sangat penting. Bila si anak telah memiliki buku-buku pelajaran yang disarankan bapak-ibu guru, baik guru maupun murid akan lebih mudah dalam kegiatan belajar mengajar (KBM). Tanpa buku-buku pelajaran sebagai pegangan guru dan murid, maka kita akan kembali ke pola “catat buku sampai (h)abis” seperti yang pernah saya alami pada era 1970-an sampai dengan 1980-an. Sekedar contoh, selama lebih kurang 6 tahun saya menjadi tukang catat di papan tulis. Karena saya ingin juga punya catatan, maka saya harus mencatat lagi di rumah.

Sudah terlanjur, maklumilah!
Seperti saya, kawan saya yang kebetulan guru memandang buku-buku pegangan sebagai piranti kegiatan belajar mengajar yang sangat penting. Tanpa buku-buku itu, ia akan menghadapi kesulitan dalam KBM. Kan ada buku paket milik sekolah? Betul, memang ada buku paket itu, tapi apakah semua sekolah mempunyai buku paket dalam jumlah yang cukup? Bila jumlah buku paket itu cukup, sebenarnya kepemilikan buku-buku pendukung dan buku LKS (Lembar Kerja Siswa) –sebagaimana dihebohkan itu- dimaksudkan untuk menambah bahan bacaan mendampingi buku yang ada. Konon, buku pendukung yang dijualbelikan itu lebih mudah dipahami, khususnya oleh para siswa.
Memang sebuah peraturan yang melarang bisnis buku di sekolah haruslah dipatuhi. Namun, menurut kawan saya tadi, peraturan itu belum terbaca oleh guru. Dia tahu jual beli buku itu dilarang, hanya lewat koran. Guru terlanjur menyediakan dan mendistribusikan buku-buku kepada para muridnya beberapa hari sebelum peraturan Mendiknas diketahui oleh para guru. Menurut ia, tidak ada kesengajaan guru maupun sekolah untuk melanggar, mencueki, meremehkan atau sejenisnya terhadap Permendiknas tersebut. Hendaknya, hal ini dimaklumi.
Tampaknya, komentar-komentar tentang jual beli buku di sekolah yang cenderung memojokkan guru, tidak sepenuhnya didasarkan pada kenyataan di lapangan. Lalu dasarnya apa? Laporan dari wali murid? Laporan dari wali murid boleh dijadikan pijakan untuk memberikan komentar terhadap jual beli buku di sekolah. Ya, boleh-boleh saja “keluhan” masyarakat disuarakan, namun hendaknya guru/sekolah tidak dipojokkan secara berlebihan.
Menanggapi komentar anggota DPRD Kota Banjarmasin (Radar Banjarmasin, 11 Agustus 2005, hal. 8), bahwa siswa yang telah terlanjur menerima buku-buku, disarankan agar tidak membayar. Saran ini tidak fair, tidak cantik, tidak pada tempatnya dan sekaligus tidak mendidik. Hal ini bisa menistakan eksistensi dan fungsi bapak-ibu guru sebagai pendidik generasi muda kita. Relakah kita bila bapak-ibu guru kita menjadi nista di hadapan masyarakat (baca: wali siswa dan siswa)?. Kalau siswa yang bersangkutan tidak jadi membeli buku lewat gurunya, sebaiknya dia mengembalikannya. Bagaimana hukumnya, buku diambil tapi tidak dibayar? Haram atau halalkah bila kita memanfaatkannya?

Guru tak sepenuhnya salah?
Saya kurang setuju bila dikatakan bisnis buku di sekolah sebagai bisnis konspiratif atau bisnis terselubung yang dilakukan oleh penerbit dan guru/sekolah. Baik bisnis konspiratif (kongkalikong) maupun bisnis terselebung (secara sembunyi-sumbunyi) menyiratkan makna yang negatif. Saya tidak mampu melihat konspirasi atau keterselubungan dalam bisnis buku di sekolah itu. Saya kira, istilah cukup tepat untuk menyebut hubungan antara penerbit/pebisnis buku dan guru/sekolah adalah hubungan koordinatif atau partnership.
Kalau bisnis buku di sekolah dianggap sebagai hal yang salah, maka kesalahan itu hendaknya tidak dialamatkan kepada guru/sekolah saja. Penerbit atau pebisnis buku yang mengarahkan placement-nya di sekolah (bukan di toko buku) dan menjadikan personal selling sebagai strategi pemasarannya, tentu mempunyai andil “kesalahan” dalam bisnis buku di sekolah. Sudahkah pihak berwenang memberikan imbauan kepadanya untuk tidak berbisnis buku secara langsung ke sekolah?. Menurut saya, akan lebih fair jika imbauan atau bahkan pelarangan juga dialamatkan kepadanya. Karena, sebagai sesama warga Negara, baik guru maupun pebisnis buku memiliki hak yang sama. Bila guru dilarang untuk menyalurkan buku, pebisnis buku hendaknya diperlukan sama.

Beban guru itu berat?
Guru sudah menanggung beban moral yang cukup berat. Misalnya, siswa gagal Ujian Nasional, guru terkena sorot; antar siswa terlibat perkelaian, guru harus ikut bertanggung jawab, dan sebagainya. Sekarang ditambah lagi dengan dugaan bisnis buku secara kongkalikong atau terselubung. Akibat dugaan ini, guru harus menanggung rasa kada nyaman ketika ia ada di lingkungan masyarakatnya. Sekedar informasi, sejumlah guru di sekolah tertentu tidak menangani lagi pendistribusian buku-buku pelajaran yang terlanjur didrop oleh pebisnis buku. Let us stop underestimating our teachers! Bagaimana menurut anda?

Tulisan ini pernah dimuat di SKH Radar Banjarmasin, 13 Agustus 2005

One Response to “Guruku?”

  1. hidup… guru. semangat guru…… didunia ini memang ada pro dan kontra. hukum alam menyebutkan keseimbangan antara siang dan malam. kalau saya berpihak kepada guru memang benar demikian adanya. dan kalao saya berpihak kepada antagonis juga tidak beda…..

    yang jelas tidak ada yang benar ataupun salah hanya sudut pandang mata kita saja yang digunakan untuk tumpuan. tergantung pada bobot niat awal sebenarnya.

    SUKSES SELALU GURUKU.

    Guru yang baik adalah guru yang tidak pamrih. yaitu GURU SEJATI.

    SEMOGA EKOSISTIM BERJALAN SESUAI DENGAN SKENARIO YANG ADA. MAKA MARILAH KITA PERANKAN, PERAN KITA MASING-MASING SESUAI SKENARIO YANG ADA.

    M E R D E K A

    Ya. Seringkali guru dimaki-maki. Para pemaki mungkin lupa, bahwa mereka mampu maki-maki itu juga akibat dari pengetahuan yang diperoleh dari guru. Mereka pinter itu karena sekolah (berguru) kepada sang guru. Iya kan?

Leave a reply to eka pratiwi Cancel reply